Pemahaman mengenai konsep dan ritual kematian dibangun oleh memori kolektif tentang makna kematian dalam suatu komunitas. Pemahaman tersebut kemudian dapat tercermin pada ekspresi arsitekturnya. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah adanya perubahan makna konsep kematian dari sakral menjadi negatif dan dihindari. Permasalahan ini seringkali ditemukan dalam konteks urban, di mana kegiatan pelayanan kematian terfokus pada aspek fungsional ruangan sebagai tempat peristirahatan terakhir dan mengabaikan fungsinya sebagai wadah untuk melaksanakan kegiatan ritual kematian. Permasalahan ini juga ditemukan pada kawasan Pura Dalem Purnajati Tanjungpuri, yang merupakan tempat ibadah dan tempat pelaksanaan ritual kematian ngaben di Jakarta Utara. Penelitian ini mengeksplorasi aspek arsitektural dari ruang sakral dan penerapannya dalam konteks perkotaan. Penelitian dimulai dengan mengumpulkan data melalui studi literatur mengenai konsep ruang sakral kematian yang ditemukan pada arsitektur vernakular Bali Aga dan ritual kematian ngaben. Di sini, hal yang menarik untuk dikaji adalah pembentukan ruang secara arsitektural untuk menyediakan ruang pelaksanakan ritual kematian. Dalam penelitian ini, penulis menemukan atribut desain yang membentuk sebuah ruang sakral kematian. Hasil penelitian ini berupa perancangan house of worship dan krematorium Purnajati Tanjungpuri sebagai ruang sakral baik untuk kegiatan keagamaan maupun untuk ritual kematian ngaben. Proses perancangan dimulai dengan merumuskan strategi desain pada tapak sesuai dengan atribut ruang sakral kematian. Penulis mengambil atribut threshold sebagai konsep desain karena dapat menggambarkan ruang antara kehidupan dan kematian. Atribut threshold diterapkan pada perancangan tapak sebagai jalur meditasi dan ruang antara untuk berkontemplasi. Perancangan house of worship dan krematorium Purnajati Tanjungpuri juga didasarkan pada konteks yaitu kepercayaan Hindu-Bali dengan penggunaan elemen air untuk menggambarkan perjalanan terakhir manusia. Perancangan kawasan diharapkan dapat menjadi nilai tambah baik untuk umat Hindu yang beribadah di pura maupun untuk penduduk setempat sebagai fasilitas pelengkap permukiman / The understanding of how the living celebrates death rituals is built by a collective memory about the meaning of death in a community. This understanding then reflected on the vernacular architecture expressions. The issue discussed in this study is concerning the avoidance of the fact of death and death rituals in the design of mortuary facilities. This issue is also found in Pura Dalem Purnajati Tanjungpuri as a place of worship and a place to accommodate ngaben death ritual for Hindus in North Jakarta. This study explores the architectural aspects of sacred space and its application in urban contexts. The research began by collecting data through literature studies regarding the concept of the sacred space of death found in Bali Aga vernacular architecture and ngaben death ritual. Throughout this study, it is intended to reveal the role of sacred spaces as a place to accommodate death rituals. Purnajati Tanjungpuri House of Worship and Crematorium is designed as a final product of this study. The design served to accommodate both religious activities and ngaben death ritual. Design attributes that form sacred space of death is applied as design strategies of creating sacred spaces. The threshold attribute is selected as the main design concept to define the space between life and death experience. The threshold attribute is applied to site design as a meditation path and an intermediate space for contemplation. Purnajati Tanjungpuri house of worship and crematorium is designed based on context, namely Hindu-Bali community which applied to the spatial arrangement, use of ornaments, and use of water element. The designed area is expected to add cultural and social value for both Hindus and for local residents as a public open space.