Kampung kota yang tidak beraturan dapat menyebabkan munculnya pemukiman kumuh dalam kampung kota tersebut (Budihardjo, 1997). Pemerintah memberikan beberapa solusi seperti pemugaran, peremajaan dan permukiman kembali yang berfokus pada perbaikan drainase, sanitasi, aksesibilitas kawasan, estetika bangunan hingga hadirnya rumah susun. Upaya tersebut hanya berfokus pada perbaikan fisik tetapi tidak menyelesaikan masalah budaya huni kampung yang memiliki hubungan sosial tinggi atau pola perilaku dekat antar penghuni (ikatan kekeluargaan yang erat karena memiliki persamaan nasib). Oleh karena itu, penelitian ini akan menginvestigasi bagaimana model hunian co-housing dapat diterapkan pada pemugaran kampung kota kumuh. Tujuan dari penelitian ini yaitu memberikan model rancangan permukiman yang dapat mengatasi permasalahan pola perilaku individual dalam program pemugaran dari pemerintah (berfokus pada perbaikan kondisi bangunan, aksesibilitas kawasan, perbaikan drainase, pengolahan sanitasi). Model hunian co-housing berbasis pola perilaku dekat antar penghuni, dapat dipadukan dengan konsep penanganan kawasan kampung kota kumuh dari pemerintah untuk menyelesaikan aspek budaya huni kampung kota. Kasus studi penelitian ini adalah RW 08 Manggarai Selatan, dimana kampung ini merupakan salah satu kampung yang dijanjikan pemerintah dalam program penataan kembali namun belum terealisasi dan memiliki permasalahan baik secara sosial, ekonomi, budaya maupun yang terkait dengan kemunculan kawasan kumuh didalamnya. Teknik pengumpulan data mengandalkan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menemukan bahwa model hunian co-housing yang dapat diterapkan pada kampung kota kumuh adalah pedestrian oriented, sharing facilities dengan rasio 1:5-10 unit. Selain itu hal yang membedakan rancangan cohousing di kampung kota kumuh adalah adanya hirarki fasilitas bersama mulai dari level kawasan, blok hingga tiap unit. Pemugaran hunian kampung kota kumuh dengan konsep co-housing dapat berfungsi dengan baik apabila mempertahankan morfologi kampungnya dan penyediaan fasilitas bersama berdasarkan pola perilaku dekat. / Irregular urban villages can cause the emergence of slums in the urban village (Budiharjo, 1997). The government provides several solutions such as renovation, rejuvenation, and resettlement which focus on improving drainage, sanitation, regional accessibility, building aesthetics to the presence of flats. The effort only focuses on physical improvement but does not solve the problem of kampong culture that has high social relations or close behavior patterns among residents (close family ties because of having the same fate). Therefore, this study will investigate how the co-housing residential model can be applied to the restoration of slum towns. The purpose of this study is to provide a settlement design model that can overcome the problem of individual behavior patterns in government restoration programs (focusing on improving the condition of buildings, regional accessibility, improving drainage, sanitation processing). The model of co-housing housing based on a pattern of close behavior among residents, can be combined with the concept of handling slum towns from the government to resolve aspects of the urban habitation culture. The case study of this research is RW 08 Manggarai Selatan, where this village is one of the villages promised by the government in the restructuring program but has not yet been realized and has problems both socially, economically, culturally and related to the emergence of slums in it. Data collection techniques rely on interviews and observation. The results of the study found that the co-housing occupancy model that can be applied to slum towns is pedestrian oriented, sharing facilities with a ratio of 1: 5-10 units. In addition, the thing that distinguishes the design of co-housing in slum towns is the existence of a hierarchy of shared facilities starting from the regional level, blocks to each unit. The restoration of the slum town's residential area with the concept of co-housing can function well if it maintains the morphology of the village and provides shared facilities based on close behavior patterns.